Kenapa di Malaysia Jarang Ada Angin? Pengalaman Pribadi Saat di Petronas

Waktu pertama kali saya menginjakkan kaki di Malaysia, ada satu hal kecil yang langsung terasa berbeda dari Indonesia: udara di sana terasa tenang, bahkan hampir tidak ada angin. Saya baru benar-benar menyadarinya saat berdiri di sekitar Menara Kembar Petronas, salah satu ikon paling terkenal di Kuala Lumpur. Meski gedung-gedung tinggi menjulang dan cuacanya cukup panas, angin di sekitar area itu terasa sangat minim. Tidak seperti di Indonesia, terutama Jakarta atau Bogor, yang anginnya sering berembus meski cuaca sedang terik. Dari situ saya mulai penasaran, kenapa di Malaysia, terutama di area Petronas, terasa jarang sekali ada angin?

Pengalaman itu berawal ketika saya dan teman-teman mengikuti program kunjungan ke Malaysia beberapa waktu lalu. Kami sempat menghabiskan waktu untuk jalan-jalan sore setelah kegiatan di kampus. Saat itu cuacanya cukup panas, sekitar 34 derajat Celsius, tapi yang membuat kami heran, rambut kami tidak sedikit pun tertiup angin. Bahkan ketika berdiri di area terbuka, udaranya terasa “diam”. Padahal kalau di Jakarta, panasnya mungkin sama, tapi biasanya ada angin yang lumayan terasa di kulit. Dari situ saya mulai bertanya-tanya apa karena letak geografis, bentuk kotanya, atau justru karena banyaknya gedung tinggi?

Setelah saya coba cari tahu, ternyata ada beberapa alasan ilmiah yang menjelaskan fenomena ini. Pertama, kondisi iklim Malaysia memang sedikit berbeda dari Indonesia. Secara geografis, Malaysia terletak di Semenanjung Malaya yang dikelilingi daratan dan laut yang tidak terlalu luas dibandingkan kepulauan Indonesia. Karena itu, sirkulasi angin laut dan darat di Malaysia tidak sekuat di negara kepulauan seperti Indonesia. Angin laut yang biasanya membawa udara sejuk ke daratan akan berkurang efeknya karena jarak dari pantai ke pusat kota seperti Kuala Lumpur cukup jauh dari garis pantai.

Kedua, faktor tata kota juga berpengaruh besar. Kuala Lumpur dikenal sebagai kota yang sangat padat dengan gedung-gedung tinggi dan struktur bangunan yang rapat. Fenomena ini disebut dengan “urban wind blocking”  di mana bangunan tinggi seperti Menara Petronas dan gedung sekitarnya menghalangi aliran angin. Udara yang seharusnya bergerak bebas menjadi terhambat, dan akibatnya kita yang berjalan di bawahnya akan merasa udara seperti “diam”. Beberapa penelitian di bidang arsitektur lingkungan bahkan menyebut bahwa kawasan dengan bangunan tinggi rapat bisa menurunkan kecepatan angin hingga lebih dari 50 persen.

Selain itu, posisi Kuala Lumpur yang dikelilingi pegunungan rendah juga memengaruhi arah angin. Kota ini berada di lembah, sehingga udara cenderung terperangkap di antara bukit dan bangunan. Fenomena ini menyebabkan suhu di kota terasa lebih panas dan lembap, tapi anginnya tidak sekuat daerah pesisir atau dataran tinggi. Itulah sebabnya, meski cuaca di Malaysia mirip dengan Indonesia yang sama-sama tropis, sensasinya bisa berbeda.

Satu hal menarik lagi adalah sistem cuaca di Malaysia yang lebih stabil dibandingkan Indonesia. Di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatra, angin sering kali dipengaruhi oleh aktivitas laut dan perbedaan tekanan udara antar pulau. Karena negara kita berbentuk kepulauan, angin laut dan darat lebih sering bertiup dan terasa. Sementara di Malaysia, perbedaan tekanan udara tidak sevariatif itu, jadi sirkulasi angin juga cenderung lebih lemah.

Saya jadi berpikir, ternyata hal sederhana seperti “tidak ada angin” bisa punya penjelasan yang cukup kompleks. Dan justru karena tenangnya udara, mungkin itu juga yang membuat suasana Kuala Lumpur terasa lebih damai dan rapi. Namun di sisi lain, hal itu juga bisa membuat suhu terasa lebih panas, terutama bagi wisatawan yang terbiasa dengan angin sepoi-sepoi seperti di Indonesia.

Ketika kami berfoto di depan Menara Petronas sore itu, langit biru dan gedung kembar yang megah memang terlihat menakjubkan, tapi kami semua berkeringat karena udara yang benar-benar diam. Salah satu teman saya bahkan bercanda, “Anginnya mungkin ikut naik ke atas gedung.” Kami tertawa, tapi ternyata, kalau dipikir-pikir, candaan itu ada benarnya juga. Aliran udara di antara gedung tinggi memang cenderung bergerak ke arah atas, bukan menyebar di permukaan jalan.

Dari pengalaman itu, saya belajar satu hal: kadang rasa “berbeda” dari sebuah negara tidak selalu datang dari budaya atau makanan, tapi juga dari hal kecil seperti angin, udara, dan suasana di sekitarnya. Malaysia punya karakter lingkungannya sendiri lebih tenang, lebih stabil, dan terasa lebih “diam” dibandingkan Indonesia yang anginnya lebih hidup. Dua-duanya punya keindahan masing-masing.

Jadi kalau kamu suatu saat berkunjung ke Malaysia, terutama ke Kuala Lumpur dan Petronas, jangan heran kalau kamu merasa udaranya sedikit lebih “diam”. Bukan karena kamu yang kebetulan tidak merasakannya, tapi memang secara ilmiah dan geografis, Malaysia punya pola angin yang berbeda. Dan siapa tahu, hal sederhana seperti itu bisa jadi inspirasi baru seperti halnya saya yang menulis artikel ini karena penasaran dengan “kenapa di Malaysia jarang ada angin”.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama