Ketika AI Tak Bisa Diakses: Pengalaman Menarik Saat Kunjungan ke Malaysia


Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan kunjungan ke salah satu universitas di Malaysia. Program ini merupakan bagian dari kegiatan pertukaran budaya dan akademik yang melibatkan mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia. Bagi saya pribadi, ini menjadi pengalaman yang sangat berkesan karena selain mendapatkan pengetahuan baru tentang dunia pendidikan di luar negeri, saya juga bisa berinteraksi langsung dengan mahasiswa dari negara tetangga yang memiliki sistem pendidikan dan budaya belajar yang berbeda.

Kunjungan ke kampus tersebut diawali dengan sambutan hangat dari pihak universitas. Kami disambut dengan penjelasan singkat mengenai sejarah kampus, program studi yang mereka tawarkan, serta pencapaian yang telah mereka raih di bidang pendidikan dan penelitian. Setelah sesi pembukaan, kami diajak berkeliling kampus, mengunjungi beberapa fakultas dan fasilitas penunjang belajar yang sangat modern.

Hal yang paling menarik bagi saya adalah sesi pertukaran budaya dan sharing session antara mahasiswa Indonesia dan Malaysia. Di situ, kami saling berbagi pandangan tentang gaya belajar, sistem pendidikan di masing-masing negara, dan perkembangan teknologi yang saat ini sedang menjadi topik hangat di dunia, salah satunya adalah kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Banyak mahasiswa di sana yang sudah cukup akrab dengan konsep AI. Mereka tahu bagaimana teknologi ini mulai digunakan dalam dunia industri, media, hingga pendidikan. Kami pun berdiskusi cukup panjang mengenai manfaat dan risiko AI, serta bagaimana mahasiswa seharusnya menggunakan teknologi tersebut dengan bijak. Suasananya terasa hidup, penuh semangat, dan sangat terbuka terhadap pandangan baru.

Namun, ada satu kejadian menarik yang saya alami selama kunjungan tersebut. Saat waktu istirahat, saya iseng membuka situs OpenAI di laptop untuk mencari inspirasi pertanyaan yang bisa saya ajukan di sesi diskusi selanjutnya. Anehnya, situs itu tidak bisa diakses. Saya pikir awalnya jaringan internet di kampus sedang bermasalah. Saya coba ulang beberapa kali, tapi hasilnya tetap sama: halaman tidak bisa dibuka.

Rasa penasaran membuat saya akhirnya bertanya kepada salah satu mahasiswa Malaysia yang duduk di sebelah saya. Dengan nada santai, dia menjawab, “No comment, tapi di sini memang tak dibolehkan.” Mendengar jawabannya, saya sedikit terkejut. Dalam hati saya berpikir, “Apa Malaysia melarang penggunaan AI seperti ChatGPT?”

Setelah kembali ke tempat penginapan, saya mencoba mencari tahu lebih dalam. Dari berbagai sumber berita dan pernyataan resmi pemerintah Malaysia, ternyata negara tersebut tidak secara resmi melarang penggunaan ChatGPT atau AI. Justru sebaliknya, Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia pernah menyampaikan bahwa penggunaan ChatGPT diperbolehkan di institusi pendidikan tinggi, asalkan sesuai dengan pedoman yang berlaku.

Pedoman ini dibuat bukan untuk menghambat inovasi, melainkan untuk mengatur bagaimana AI digunakan secara etis dan bertanggung jawab di lingkungan akademik. Pemerintah Malaysia tampaknya cukup berhati-hati terhadap dampak negatif yang mungkin muncul, seperti plagiarisme, penyebaran informasi yang tidak valid, atau ketergantungan berlebihan terhadap teknologi otomatis.

Kebijakan ini juga sejalan dengan langkah-langkah yang diambil oleh banyak negara lain yang sedang berusaha menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan etika dan keamanan data. Artinya, Malaysia tidak menolak AI, tetapi mengarahkan penggunaannya agar tidak disalahgunakan.

Dari penelusuran saya, kemungkinan besar alasan kenapa saya tidak bisa mengakses OpenAI waktu itu bukan karena larangan nasional, melainkan karena kebijakan internal dari kampus yang saya kunjungi. Setiap universitas di Malaysia memiliki otonomi untuk mengatur jaringan dan sistem keamanannya sendiri. Bisa jadi, pihak kampus memblokir akses ke situs-situs tertentu yang dianggap bisa mengganggu fokus belajar atau berpotensi digunakan secara tidak sesuai dengan pedoman akademik.

Kampus di Malaysia dikenal cukup ketat dalam menjaga integritas akademik. Mereka benar-benar menekankan pentingnya orisinalitas karya mahasiswa. Jadi, pembatasan akses terhadap AI di lingkungan kampus bukan hal yang aneh, terutama jika dianggap dapat memicu pelanggaran etika akademik.

Pengalaman sederhana ini sebenarnya membuka wawasan baru bagi saya. Dari hal kecil seperti tidak bisa membuka ChatGPT, saya belajar bahwa teknologi tidak selalu bebas digunakan di mana pun. Setiap negara, bahkan setiap institusi pendidikan, memiliki kebijakan dan pertimbangan tersendiri dalam menyikapi perkembangan teknologi.

Di satu sisi, AI membawa banyak manfaat bagi dunia pendidikan, mulai dari membantu riset, mempercepat pekerjaan administratif, hingga menjadi sumber inspirasi kreatif. Namun di sisi lain, teknologi ini juga membawa tantangan baru. Jika tidak diatur dengan baik, AI bisa membuat proses belajar menjadi instan dan mengikis kemampuan berpikir kritis mahasiswa.

Pengalaman ini membuat saya lebih menghargai pentingnya regulasi dalam dunia digital. Ternyata, membatasi bukan selalu berarti menolak. Dalam konteks Malaysia, pembatasan akses AI di kampus justru menunjukkan keseriusan mereka dalam memastikan teknologi digunakan secara bertanggung jawab.

Sebagai mahasiswa, saya melihat hal ini sebagai pengingat penting bahwa kemajuan teknologi tidak akan berarti apa-apa tanpa kebijakan yang bijak. AI memang luar biasa, tetapi tetap saja, manusia yang memegang kendali. Kita lah yang menentukan bagaimana teknologi digunakan, apakah untuk mendukung kemajuan, atau justru sebaliknya.

Bagi saya pribadi, kunjungan ke Malaysia tidak hanya memberikan pengalaman akademik dan budaya yang berharga, tetapi juga pelajaran penting tentang hubungan antara teknologi, etika, dan kebijakan. Mungkin terdengar sepele hanya karena tidak bisa membuka satu situs, tetapi dari situ saya belajar bahwa setiap kebijakan memiliki alasan di baliknya.

Dan kini, setiap kali saya membuka ChatGPT atau platform AI lainnya, saya jadi lebih sadar untuk menggunakan teknologi ini dengan lebih bertanggung jawab. Karena ternyata, bahkan dari hal sekecil akses yang dibatasi, kita bisa belajar banyak tentang bagaimana dunia memandang masa depan kecerdasan buatan.

Berikut beberapa sumber berita yang mendukung fakta bahwa penggunaan ChatGPT atau AI generatif di institusi pendidikan tinggi di Malaysia dipermudah dengan syarat pedoman, bukan dilarang sepenuhnya:

  • “Minister: Higher education ministry to allow ChatGPT use at local universities, guidelines must be followed” dari The Star (14 Juni 2023). The Star
  • “ChatGPT usage in Malaysia must adhere to set guidelines, says higher education minister” dari Malay Mail (13 Juni 2023). Malay Mail
  • “ChatGPT allowed in uni, but guideline compliance mandatory: higher edu minister” dari The Vibes (13 Juni 2023). The Vibes

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama