Banyak mahasiswa di sana yang sudah cukup akrab dengan konsep AI.
Mereka tahu bagaimana teknologi ini mulai digunakan dalam dunia industri,
media, hingga pendidikan. Kami pun berdiskusi cukup panjang mengenai manfaat
dan risiko AI, serta bagaimana mahasiswa seharusnya menggunakan teknologi
tersebut dengan bijak. Suasananya terasa hidup, penuh semangat, dan sangat
terbuka terhadap pandangan baru.
Namun, ada satu kejadian menarik yang saya alami selama kunjungan
tersebut. Saat waktu istirahat, saya iseng membuka situs OpenAI di laptop untuk
mencari inspirasi pertanyaan yang bisa saya ajukan di sesi diskusi selanjutnya.
Anehnya, situs itu tidak bisa diakses. Saya pikir awalnya jaringan internet di
kampus sedang bermasalah. Saya coba ulang beberapa kali, tapi hasilnya tetap
sama: halaman tidak bisa dibuka.
Rasa penasaran membuat saya akhirnya bertanya kepada salah satu
mahasiswa Malaysia yang duduk di sebelah saya. Dengan nada santai, dia
menjawab, “No comment, tapi di sini memang tak dibolehkan.” Mendengar
jawabannya, saya sedikit terkejut. Dalam hati saya berpikir, “Apa Malaysia
melarang penggunaan AI seperti ChatGPT?”
Setelah kembali ke tempat penginapan, saya mencoba mencari tahu
lebih dalam. Dari berbagai sumber berita dan pernyataan resmi pemerintah
Malaysia, ternyata negara tersebut tidak secara resmi melarang penggunaan
ChatGPT atau AI. Justru sebaliknya, Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia
pernah menyampaikan bahwa penggunaan ChatGPT diperbolehkan di institusi
pendidikan tinggi, asalkan sesuai dengan pedoman yang berlaku.
Pedoman ini dibuat bukan untuk menghambat inovasi, melainkan
untuk mengatur bagaimana AI digunakan secara etis dan bertanggung jawab di
lingkungan akademik. Pemerintah Malaysia tampaknya cukup berhati-hati terhadap
dampak negatif yang mungkin muncul, seperti plagiarisme, penyebaran informasi
yang tidak valid, atau ketergantungan berlebihan terhadap teknologi otomatis.
Kebijakan ini juga sejalan dengan langkah-langkah yang diambil
oleh banyak negara lain yang sedang berusaha menyeimbangkan kemajuan teknologi
dengan etika dan keamanan data. Artinya, Malaysia tidak menolak AI, tetapi
mengarahkan penggunaannya agar tidak disalahgunakan.
Dari penelusuran saya, kemungkinan besar alasan kenapa saya tidak
bisa mengakses OpenAI waktu itu bukan karena larangan nasional, melainkan
karena kebijakan internal dari kampus yang saya kunjungi. Setiap universitas di
Malaysia memiliki otonomi untuk mengatur jaringan dan sistem keamanannya
sendiri. Bisa jadi, pihak kampus memblokir akses ke situs-situs tertentu yang
dianggap bisa mengganggu fokus belajar atau berpotensi digunakan secara tidak
sesuai dengan pedoman akademik.
Kampus di Malaysia dikenal cukup ketat dalam menjaga integritas
akademik. Mereka benar-benar menekankan pentingnya orisinalitas karya
mahasiswa. Jadi, pembatasan akses terhadap AI di lingkungan kampus bukan hal
yang aneh, terutama jika dianggap dapat memicu pelanggaran etika akademik.
Pengalaman sederhana ini sebenarnya membuka wawasan baru bagi
saya. Dari hal kecil seperti tidak bisa membuka ChatGPT, saya belajar bahwa
teknologi tidak selalu bebas digunakan di mana pun. Setiap negara, bahkan
setiap institusi pendidikan, memiliki kebijakan dan pertimbangan tersendiri
dalam menyikapi perkembangan teknologi.
Di satu sisi, AI membawa banyak manfaat bagi dunia pendidikan,
mulai dari membantu riset, mempercepat pekerjaan administratif, hingga menjadi
sumber inspirasi kreatif. Namun di sisi lain, teknologi ini juga membawa
tantangan baru. Jika tidak diatur dengan baik, AI bisa membuat proses belajar
menjadi instan dan mengikis kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Pengalaman ini membuat saya lebih menghargai pentingnya regulasi
dalam dunia digital. Ternyata, membatasi bukan selalu berarti menolak. Dalam
konteks Malaysia, pembatasan akses AI di kampus justru menunjukkan keseriusan
mereka dalam memastikan teknologi digunakan secara bertanggung jawab.
Sebagai mahasiswa, saya melihat hal ini sebagai pengingat penting
bahwa kemajuan teknologi tidak akan berarti apa-apa tanpa kebijakan yang bijak.
AI memang luar biasa, tetapi tetap saja, manusia yang memegang kendali. Kita
lah yang menentukan bagaimana teknologi digunakan, apakah untuk mendukung
kemajuan, atau justru sebaliknya.
Bagi saya pribadi, kunjungan ke Malaysia tidak hanya memberikan
pengalaman akademik dan budaya yang berharga, tetapi juga pelajaran penting
tentang hubungan antara teknologi, etika, dan kebijakan. Mungkin terdengar
sepele hanya karena tidak bisa membuka satu situs, tetapi dari situ saya
belajar bahwa setiap kebijakan memiliki alasan di baliknya.
Dan kini, setiap kali saya membuka ChatGPT atau platform AI lainnya, saya jadi lebih sadar untuk menggunakan teknologi ini dengan lebih bertanggung jawab. Karena ternyata, bahkan dari hal sekecil akses yang dibatasi, kita bisa belajar banyak tentang bagaimana dunia memandang masa depan kecerdasan buatan.
Berikut beberapa sumber berita yang mendukung fakta bahwa penggunaan ChatGPT atau AI generatif di institusi pendidikan tinggi di Malaysia dipermudah dengan syarat pedoman, bukan dilarang sepenuhnya:
- “Minister: Higher education ministry to allow ChatGPT use at local universities, guidelines must be followed” dari The Star (14 Juni 2023). The Star
- “ChatGPT usage in Malaysia must adhere to set guidelines, says higher education minister” dari Malay Mail (13 Juni 2023). Malay Mail
- “ChatGPT allowed in uni, but guideline compliance mandatory: higher edu minister” dari The Vibes (13 Juni 2023). The Vibes
